PORTALMALUKU.COM – Setiap tanggal 10 November kita merayakan Hari Pahlawan. Saat itulah momen yang tepat untuk membacakan puisi bertema pahlawan.
Chairil Anwar dan W.S Rendra adalah dua penyair Indonesia yang pernah menciptakan puisi dengan tema pahlawan.
Puisi Chairil Anwar yang terkenal adalah “Diponegoro” dan “Karawang-Bekasi”. Sedangkan puisi WS Rendra yang terkenal adalah “Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang”.
Baca Juga: Serial Hari Pahlawan 2021 : 7 Film yang Wajib Kamu Tonton di 10 November Besok
Berikut kumpulan puisi Hari Pahlawan dari Chairil Anwar dan WS Rendra.
Diponegoro oleh Chairil Anwar (1943)
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai J
ika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Baca Juga: Serial Hari Pahlawan 10 November 2021 : Hotel Yamato, Saksi Bisu Awal Perang Besar di Surabaya
Karawang – Bekasi oleh Chairil Anwar (1948)
Kami yang kini terbaring antara Karawang – Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang – Bekasi
Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang oleh WS Rendra (1960)
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku (1960)
Aku Tulis Pamplet Ini oleh W.S. Rendra
Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
Menjadi marabahaya
Menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian
Aku tidak melihat alasan kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Matahari menyinari air mata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah yang teronggok bagai sampah
Kegamangan.
Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca: ternyata kita, toh, manusia!
***