BEIT HANOUN, Jalur Gaza - Ramez Al-Masri (39) membutuhkan tiga tahun untuk membangun kembali rumahnya setelah dihancurkan dalam serangan Israel tahun 2014 lalu. Ketika teror roket Israel kembali menghujam Gaza pekan lalu, hanya butuh beberapa detik rumah Al-Masri itu kembali menyatu dengan tanah.
Sekali lagi, Al-Masri yang putus asa, kembali menemukan dirinya berada di antara ribuan warga Gaza yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik Irael dan dan Hamas di wilayah itu.
Setelah rumahnya hancur, Al-Masri dan 16 penghuni bangunan berlantai dua itu tersebar di rumah sejumlah kerabatnya. Ia kerap gelisah, membatin: berapa lama mereka akan mengungsi sambil menunggu uluran tangan bantuan internasional agar membangun kembali rumah mereka.
“Anak-anak saya terpencar- dua di sana, tiga di sini, satu di sana. Segalanya sangat sulit, ”katanya. "Kami hidup dalam kematian setiap hari selama ada pendudukan," katanya, mengacu pada aturan Israel atas Palestina, termasuk blokade di Gaza, dilansir dari Asociated Press, Senin, 24 Mei 2021.
Baca Juga: Setelah Wembley, Giliran Bendera Palestina Berkibar di Old Trafford
Kerusakannya kurang luas dibandingkan dengan perang 50 hari tahun 2014, di mana seluruh lingkungan berubah menjadi puing-puing dan 141.000 rumah musnah atau rusak.
Tetapi setelah perang itu, donor internasional dengan cepat menjanjikan bantuan rekonstruksi sebesar $ 2,7 miliar untuk daerah di Gaza yang mengalami kehancuran parah.
Masih belum jelas, apakah komunitas internasional, di tengah krisis global akibat Covid-19 dan tahun-tahun diplomasi Timur Tengah yang kerap kali gagal, akan siap membuka "dompet kemanusiaannya" lagi atau tidak.
Saat itu pukul tiga pagi pada hari Rabu ketika panggilan telepon dari Israel datang ke tetangga yang memerintahkan semua orang di daerah itu untuk dievakuasi. "Tinggalkan rumah Anda, kami akan membom," cerita Al-Masri mengenang peristiwa itu.