Angkat Isu Perdamaian dan Budaya, 4 Film dari Maluku Ini Layak Ditonton Saat Hari Film Nasional

- 30 Maret 2021, 08:15 WIB
Ilustrasi proyektor film - Berikut ini adalah sejarah film di Indonesia dimulai dari nama Usmar Ismail, di mana 30Maret dijadikan sebagai Hari Film Nasional.*
Ilustrasi proyektor film - Berikut ini adalah sejarah film di Indonesia dimulai dari nama Usmar Ismail, di mana 30Maret dijadikan sebagai Hari Film Nasional.* ///Pixabay/Free-Photos


PORTALMALUKU.COM -- 30 Maret sangat bersejarah bagi dunia film tanah air dan selalu diperingati sebagai Hari Film Nasional setelah Usmar Ismail mendirikan NV Perfini dan langsung menggarap produksi perdananya ‘Darah dan Do'a.

Hingga kini, dunia perfilman tanah air sudah semakin maju. Geliat dan perkembangan film bahkan masuk hingga ke pelosok negeri.

Menonton film Indonesia kini bisa dilakukan selain di bioskop. Pasalnya, geliat industri perfilman nasional juga bisa dilihat dari banyaknya komunitas film pendek di berbagai daerah. Maluku salah satunya.

Baca Juga: Kenali Kepribadian Unik Anda di Setiap Tanda Zodiak Ini

Isu perdamaian dan budaya menjadi topik yang paling sering diangkat komunitas film pendek di Maluku. Berikut ini, lima film dari Maluku yang kami rekomendasikan untuk anda tonton saat Hari Film Nasional.

1. Provokator Damai

Provokator Damai adalah film dokumenter yang digarap oleh Rifky Husain pada 2013. Film Provokator Damai jadi bukti bahwa masyarakat Ambon merindukan perdamaian.

Situasi dimana masyakat beragama Islam dan Kristen hidup rukun berdampingan sebelum terjadi konflik pada tahun 1999.

Film berdurasi 28 menit ini dibuat Rifky, mahasiswa Jurnalistik IAIN Ambon, bersama teman satu kelasnya Ali Madi Salay.

Film ini menceritakan kisah keluarga muslim yang hidup di tengah perkampungan kristen, begitu sebaliknya keluarga kristen yang hidup di tengah perkampungan muslim.

Cerita film Provokator Damai menceritakan sebagain dari kehidupan Rifky sebelum pecah konflik horizontal pada 1999.

Baca Juga: Sebut Kubu Moeldoko Terus Menghasut dan Melempar Fitnah, AHY: Kami Tidak Takut dan Berjanji untuk Melawan

Rifky yang menjadi sutrada bercerita kalau dahulu ia yang seorang muslim bisa tinggal bersama orang kristen dengan rukun.

Kemudian karena konflik tahun 99 lalu, ia dan keluarganya harus pindah ke kampung lain.

Film ini sendiri merupakan film yang finalis kompetisi Eagle Award 2013. Lewat filmnya ini Rifky berharap bisa pemantik kecil perdamaian di Ambon.

2. Hana

Sukses dengan film Provokator Damai yang mengangkat isu perdamaian. Rifky Husain kembali menggarap film dengan isu yang sama pada 2016.

Film Hana diproduksi oleh Komunitas Film BaileoDOC. Berlatar belakang 17 tahun setelah kerusuhan Ambon, Hana memutuskan untuk mengembalikan kunci rumah milik keluarga Dominggus yang dikehendaki almarhum ibunya.

Kunci dan pertemuannya dengan Oma Ace membuka pintu ke masa lalu

Hana adalah film pendek fiksi yang mengangkat kisah tentang hubungan antar tetangga ketika konflik 1999 terjadi di Ambon, berbalut drama yang tergambar dari dialog antara dua pemeran utama mengenai rumah yang dititipkan untuk dijaga.

Ditulis oleh penulis naskah film "Surat dari Praha", Irfan Ramli, film yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut penuh dengan "keterangan maksud" yang tidak langsung.

Baca Juga: Setelah Putus dengan Amanda Manopo, Billy Syahputra Dekat dengan Memes Prameswari, Mereka Pacaran?

3. Munysera

Film Munysera berkisah tentang sosok pembawa kabar kematian di Pulau Masela, Kabupaten Maluku Barat Daya.

Semalam sebelum mendapatkan tugas mengabarkan berita duka, John (46), seorang Munysera, terjatuh dan tidak dapat berlari.

John meminta anaknya, Yance (24), untuk menggantikan dirinya berlari sejauh 45 km ke desa tetangga untuk mengabarkan berita duka kepada cucu Opa Jossy, Alex (12), di Desa Iblatmumta.

Yance enggan menggantikan ayahnya menjadi petugas adat pemberi kabar kematian, tetapi hutang budi terhadap Opa Jossy membuat Yance memutuskan mengambil peran itu dan memberi kabar pada Alex.

Perjalanan Yance memberi kabar duka dan bertemu orang-orang di perjalanannnya membuat Yance tersadar akan peran penting seorang Munysera di tengah kondisi masyarakat yang miskin dan tanpa akses transportasi.

Baca Juga: Kapolri Ungkap Rekam Jejak Pelaku Bom Makassar hingga Isi Surat Wasiat ke Orangtua Sebelum Bereaksi

Munysera merupakan sebutan bagi laki-laki dewasa yang bertugas menyampaikan berita duka atau kabar kematian dari satu desa ke desa lainnya. Sebutan tersebut diadopsi dari nama lokal burung sejenis gagak.

Diperankan oleh Fredy Coar Tiwery, warga asli Pulau Masela, film Munysera juga menyoroti persoalan akses air bersih, kesehatan dan pendidikan yang dihadapi masyarakat setempat.

Mengambil lokasi syuting langsung di Desa Lawawang, Iblatmuntah dan Babyotang, Kecamatan Pulau Masela selama lebih dari dua minggu lamanya.

Film Munysera adalah film garapan Ali Bayanudin Kilbaren dari Komunitas BaileoDOC dan didukung oleh CGV Cinema.

Film ini tayang perdana di bioskop CGV Cinema Yogyakarta pada 6 Desember lalu dalam event Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-12 yang berlangsung pada 1-8 Desember 2017.

Baca Juga: Mulai dari G30 S PKI Hingga Naga Bonar, Berikut Profil Wawan Wanisar di Dunia Akting

4. Pendayung Terakhir

Film Dokumenter Pendayung Terakhir adalah film pertama garapan sutradara Ali Bayanudin Kilbaren bersama komunitas film Obscura Alhazen.

Berawal dari tugas kuliah, film yang berkisah tetang kehidupan pendayung perahu dibawah Jembatan Merah Putih, Ambon, sukses mendulang berbagai penghargaan bergengsi di tingkat nasional.

Sejak tahun 1950, Transportasi perahu telah melayari teluk Ambon. Membawa penumpang dari Desa Galala ke Desa Poka dan menghubungkan dua jazirah penting di pulau Ambon : Leihitu dan Leitimur.

Beberapa foto hasil karya Woodbury and Page sekitar tahun 1870, bahkan telah menggambarkan pantai kota ambon sangat ramai dengan perahu-perahu dan transaksi sagu mentah maupun kayu bakar.

Baca Juga: Gerebek Rumah Terduga Teroris di Bekasi, Densus 88 Amankan 3 Koper diduga Bahan Peledak

Pada April 2016, Jokowi meresmikan Mega Proyek Jembatan Merah Putih. Jembatan terpanjang di Indonesia Timur ini menguras 700 Milyar lebih APBN.

Di bawah Jembatan megah ini, Arif, 56 Tahun saban hari mendayung perahu. Bersama 200 kepala keluarga lainnya, Arif menggantungkan pendapatannya pada pekerjaan mendayung perahu.

Namun, sejak jembatan resmi dibuka untuk umum, pendapatan Arif menurun drastis. Begitu juga pendayung perahu lainnya.

Banyak dari para pendayung ini memilih mencari pekerjaan lain karena mendayung tidak lagi menjamin hidup mereka.

Baca Juga: Wawan Wanisar, Pemeran Piere Tendean di FIlm Pengkhianatan G30 S PKI Tutup Usia

Arif memilih berkebun dan sembari tetap mendayung perahu. Baginya mendayung perahu berarti juga melestarikan budaya dan kejayaan maritim di Indonesia yang telah ada sejak dulu.

Perlahan, jumlah para pendayung perahu terus merosot. Yang tersisa kini adalah para pendayung terakhir yang mencoba mempertahankan salah satu moda transportasi tertua di Pulau Ambon.

Film Dokumenter mencoba memotret kisah minor tentang kemajuan semu yang diperjuangkan pemerintah namun menyengsarakan masyarakat kecil.***

Editor: Yusuf Samanery


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah