Simak ! Dua Kejanggalan Peraturan Ekspor Benur

- 5 Desember 2020, 16:02 WIB
Lobster./
Lobster./ /Pixabay/premagraphic


PORTALMALUKU.COM -- Peneliti kebijakan kelautan dan perikanan, Anta Maulana Nasution, menemukan dua kejanggalan regulasi perizinan ekspor benur.

Dua kejanggalan ini membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Kebijakan ekspor benur terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Menteri No. 12 tahun 2020.

Buntut penangkapan Edhy Prabowo  saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, 25 November 2020 lalu, membangkitkan lagi polemik izin ekspor benih lobster.

Baca Juga: Frank Lampard Rencana Perpanjang Masa Kontraknya di Chelsea

Baca Juga: Ponsel Bisa Digulung, Samsung Kembangkan Galaxy Scroll

Seperti diketahui, Edhy diduga menerima uang sebesar Rp3,4 miliar dan US$100.000 dari PT ACK, satu-satunya eksportir benih lobster di Indonesia.

"Dalam pasal tersebut, ada 10 ketentuan yang harus dipatuhi oleh eksportir sebelum diperbolehkan mengekspor benur,” tutur Anta, dalam artikelnya di The Conversation Indonesia, Jumat, 4 Desember 2020.

Kewajiban tersebut di antaranya melakukan kegiatan budidaya lobster, memenuhi kuota dan lokasi penangkapan benih lobster sesuai standar yang ditetapkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Kemudian menangkap dan menjual benur ke luar negeri harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

Namun, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, menemukan setidaknya dua kejanggalan dalam pelaksanaannya.

Pertama, pengiriman ekspor benih lobsteryang pertama ke Vietnam terjadi hanya sebulan setelah Peraturan Menteri disahkan.

Padahal pasal 5 di atas mewajibkan eksportir untuk melakukan kegiatan budidaya terlebih dahulu dan kegiatan budidaya lobster membutuhkan waktu berbulan-bulan, minimal 4 hingga 6 bulan tergantung dari ukuran siap jual.

Baca Juga: Breaking News : Tilep Dana Covid-19, Pejabat Kemenos Terjaring OTT KPK

Baca Juga: Mensos: Penerima PKH Maksimal Lima Tahun Setelah Itu Harus Diganti

Kedua, pasal 5 juga mengharuskan eksportir memenuhi kuota dan lokasi penangkapan benur, serta waktu pengeluaran benur.

Aturan tersebut ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap yang didasari dari hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

“Menariknya, anggota Komnas kajikan baru disahkan pada pada tanggal 27 Oktober 2020 atau 6 bulan dari pengesahan kebijakan ekspor benur. Jadi sebenarnya tidak jelas merujuk pada aturan siapakah ekspor benur yang sudah dilakukan sejak bulan Juni,” katanya.

Kejanggalan-kejanggalan ini, ujar dia, makin membuktikan bahwa memang sebenarnya Indonesia belum siap untuk melakukan ekspor benih lobster.

Perkembangan berita beberapa hari ini menunjukkan bahwa ada upaya monopoli dalam kegiatan ekspor benur ini.

Komisi Persaingan Pengawas Usaha (KPPU) mengindikasikan adanya monopoli oleh perusahaan jasa pengiriman logistik dalam hal ekspor benur.

Tidak lama dari temuan KPPU ini, KPK menetapkan Menteri Edhy Prabowo dan menetapkan 2 staf khusus sebagai tersangka.

Baca Juga: Sebab Anak dan Menantu Calonkan Diri, Media Asing sebut Jokowi Berubah

Baca Juga: Hujan Deras Mengguyur Aceh Timur, 15 Kecamatan Terendam Banjir

Selain itu, KPK juga menangkap salah seorang pengurus perusahaan jasa pengiriman logistik yang selama ini memonopoli jasa pengiriman ekspor benur, yaitu PT ACK.

Selain itu, KPK juga menangkap salah seorang pengurus perusahaan jasa pengiriman logistik yang selama ini memonopoli jasa pengiriman ekspor benur, yaitu PT ACK.

Berdasarkan hasil investigasi awal KPK, para pemilik saham PT ACK, yaitu AMR dan ABT, memiliki hubungan dekat dengan Menteri Edhy.

Dari kasus korupsi yang terjadi, kebijakan pelegalan ekspor benur merupakan upaya dari aktor-aktor yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk menguasai dan memonopoli pemanfaatan sumber daya perikanan.

Kasus korupsi ekspor benur juga menunjukkan dengan sangat jelas adanya oligarki dalam pengelolaan sumber daya kelautan.

Oligarki yang dimaksud di sini adalah kekuasaan segelintir elite, hingga ke level Menteri, dalam memanfaatkan sumber daya laut untuk kepentingannya sendiri.

Oligarki yang berkaitan dengan sumber daya alam selalu dimulai dari perizinan. Dari permainan memberikan izin kemudian biasanya akan dilanjuti dengan upaya melakukan monopoli harga pasar.

“Tentunya oligarki seperti ini harus diputus,” kata dia menegaskan.***

Editor: Yusuf Samanery

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x