STUDI ROMANTISME JEPANG: Budaya Konservatisme, Selera Seks, hingga Maraknya Lajang di Negeri Sakura

4 Desember 2020, 05:27 WIB
WANITA Jepang yang tengah menggunakan masker di Hokkaido.* //Daily Mail/

PORTALMALUKU.COM -- MARIKO mengkhawatirkan kehidupan seks temannya. "Dia ingin punya bayi, tapi dia dan suaminya tidak pernah berhubungan seks," kata pria berusia 44 tahun itu. “Suaminya hanya suka video game dan makanan. Dia tidak tertarik pada seks,” ucap Mariko kisahkan keluhan seorang temannya, Yoko.

Mariko juga tidak memiliki pasangan seks, meski sudah lama menginginkan seorang suami dan anak. Dia jauh terus hidup dalam sepinya di tanah airnya, Jepang, sebuah negara yang manusianya didominasi dengan selera hubungan romantisme yang tak lazim: kacau, kering, dan bahkan, ganjil. Budaya romansa anak mudanya dianggap mundur. Populasi menuanya lebih cepat daripada negara industri lainnya di dunia.

Menurut sebuah riset akademis tentang status lajang di Jepang, menyebutkan sekitar 25 persen remaja Jepang saat ini melajang, bahkan, sebagaian memutuskan tidak akan menikah seumur hidup mereka," kata Masahiro Yamada, seorang profesor dari Universitas Chuo, dikutip South China Morning Post, Jumat, 4 Desember 2020.

Baca Juga: STUDI: Teh Hijau, Cokelat Hitam, dan Anggur Diklaim Bisa Lawan Virus Corona

Yamada pernah menciptakan istilah “single parasit” untuk menggambarkan orang-orang dewasa Jepang yang terus memilih melajang, hidup bebas, dan hanya memikirkan keluarga. Menurut riset akademiknya, jumlah orang lajang dari seluruh populasi Jepang meningkat secara drastis dalam tiga dekade terakhir.

Dia pun menyatakan dalam sebuah kesimpulannya bahwa reputasi Jepang sebagai negara bebas seks diragukan. Pada 2015, sebuah penelitian dari Universitas Tokyo menunjukkan bahwa satu dari empat wanita dan satu dari tiga pria berusia di akhir 30-an masih lajang. Separuh dari mereka tidak tertarik pada hubungan heteroseksual.

"Tapi apakah hilangnya libido ini dianggap sebagai penyebab rendahnya tingkat kelahiran di Jepang? Masalah ini jauh lebih kompleks. Jepang sangat terobsesi dengan citra tradisional sebuah keluarga,” kata Yamada, penulis buku pemuda dan nilai-nilai konservatif di Jepang.

Baca Juga: Seorang Pria Muslim India Terancam Penjara 10 Tahun karena Dituding Langgar UU Jihad Cinta

Dia berpandangan, banyak anak muda Jepang bercita-cita untuk memenuhi peran gender tradisional, di mana pria adalah pencari nafkah dan perempuan mengurus rumah dan anak. Pada tahun-tahun booming di awal tahun 90-an, kata Yamada, para wanita muda Jepang gampang menemukan pria dengan pekerjaan bergaji tinggi. Tapi sekarang sudah susah. "Hal ini berkaitan dengan situasi ekonomi Jepang yang relatif sulit," tulisnya.

Meski demikian, Yamada berujar, cita-cita tradisional pria sebagai pencari nafkah tunggal masih dihargai. Alhasil, banyak perempuan muda Jepang yang terus tinggal bersama orangtuanya dan menunggu pasangan.

"Semakin banyak orang Jepang tampaknya telah kehilangan minat pada seks, pernikahan, dan romansa."

Meski demikian, kata Yamada, cita-cita tradisional pria sebagai pencari nafkah tunggal masih dihargai. Alhasil, banyak perempuan muda Jepang yang terus tinggal bersama orangtuanya dan menunggu pasangan.

Baca Juga: Cara Cek Status Pencairan BSU Kemendikbud Guru Honorer di Laman bsudikti.kemdikbud.go.id

“Tapi sebagian besar dari mereka, pasangan ideal ini tidak akan pernah terwujud. Hasilnya: banyak dari mereka tetap melajang," tutur Yamada.

Pada 2015, peneliti University of Tokyo menghitung 2,2 juta lebih banyak wanita lajang dan 1,7 juta lebih banyak pria lajang antara usia 18 dan 39 dibandingkan dengan jumlah lajang pada tahun 1992.

“Setelah usia 30, Anda sudah menikah atau lajang. Sangat sedikit kelompok usia yang lebih tua belum menikah dan dalam suatu hubungan, ”tulis Peter Ueda, seorang ahli epidemiologi di Universitas Tokyo.

Jadi, kata Peter, masuk akal untuk mengasumsikan bahwa bentuk hubungan orang dewasa yang paling diterima secara sosial adalah "hambatan pembentukan hubungan romantis di Jepang," tulisnya dalam jurnal PLOS ONE.

Baca Juga: Ini 4 Film Pendek Animasi Pilihan untuk Mengisi Waktu Kosongmu: Syarat Makna dan Bergizi

"Kaum muda Jepang malah memenuhi kebutuhan seksual mereka dengan mengunjungi klub tuan rumah dan nyonya rumah serta kafe pembantu, di mana wanita berpakaian seperti pelayan melayani pria yang sering keluar untuk berhubungan seks", kata Yamada.

Yang lain lebih suka keintiman virtual. Misalnya dengan karakter dari online atau menyukai "ikon" budaya pop, yang populer terutama karena penampilannya. Menurut media, ada peningkatan permintaan di kalangan wanita Jepang untuk mainan seks dan pornografi yang berpusat pada wanita.

Kebiasaan itu justru menyita waktu sejumlah orang untuk berhubungan intim. Yamada menyebutnya dengan sebuah adagium: keinginan mencari nafkah melebihi keinginan bercinta. Dia melihat hubungan antara keuangan pribadi dan status hubungan.

Baca Juga: UPDATE CORONA DUNIA: Per 3 Desember Lebih dari 64 juta Kasus, Indonesia Laporkan 5.533 Kasus

"Analisis data terbarru dari Institut Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional Jepang selama tahun 1987 hingga 2015 menyebutkan pendapatan lebih rendah dan pasar kerja yang tidak stabil merupakan kerugian bagi pria untuk berkencan.

Haruka Sakamoto, seorang ahli kesehatan masyarakat dan rekan penulis studi PLOS ONE Ueda, mengatakan jika pemerintah bisa menangani situasi kelompok berpendapatan rendah dan pendidikan rendah, mungkin, lanjutnya, orang-orang itu akan memiliki minat baru untuk berkencan,” kata Haruka.

Dalam survei tahun 2015, lebih dari setengah dari mereka yang lajang yang mengatakan bahwa mereka tidak tertarik dengan hubungan intim. Mereka justru masih berharap untuk menikah pada "suatu saat".

Bahkan, kita tahu, Mariko masih belum putus asa.***

Editor: Irwan Tehuayo

Sumber: South China Morning Post

Tags

Terkini

Terpopuler