Soal Pelecehan Seksual di Kantor KPI, Arie Kriting: Sensor Seksual di Layar Kaca Percuma

2 September 2021, 11:51 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual pada pria /Pinterest

PORTALMALUKU.COM -- Kabar tak sedap datang dari lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). pelecehan seksual dan bullying dikabatkan terjadi di lembaga sensor film dan sinetron Indonesia.

Akibatnya, pelecehan seksual dan bullying di Kantor KPI Pusat memicu polemik di tengah masyarakat. Salah satu kritik datang dari komika Stand Up Comedy Indonesia, Satriaddin Maharinga Djongki yang dikenal dengan nama Arie Kriting.

Melalui akun twitternya @Arie_Kriting, alumni SUCI season 3 itu mengecam tindakan pelecehan dan bullying di Kantor KPI pusat.

Baca Juga: Sekali Lagi, Mural 'Jadikan Koruptor Pahlawan Cara Firli Berantas Korupsi' Dihapus

“Kejadian ini adalah bukti bahwa upaya kami melakukan pengawasan sensor untuk hal-hal yang membawa kesan sensual di layar kaca adalah hal yang percuma," kata Arie Kiriting melalui akun twitternya, Kamis, Septermber 2021.

"Karena semua ini kembali pada pribadi masing-masing. Untuk itu kami putuskan membubarkan diri. Sekian dan terima kasih, ujarnya.

Sebelumnya, jagat maya dihebohkan dengan adanya pengakuan seorang berinisial MS yang diduga menjadi korban pelecehan seksual di KPI Pusat.

Bahkan dalam pesan berantai yang tersebar di berbagai grup Whatsapp itu, MS mengaku dilecehkan oleh 7 pegawai KPI Pusat di Gedung baru KPI Pusat, Jakarta Pusat.

"Tolong Pak Jokowi, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, saya trauma buah zakar dicoret spidol oleh mereka," kata dia di awal pernyatannya.

Dilansir dari PRFMNews.id dalam artikel "Viral Dugaan Perundungan dan Pelecehan Seksual di KPI Pusat" dalam pesan itu, MS mengaku bekerja untuk mencari nafkah di KPI Pusat.

Namun sayangnya, sepanjang 2012 hingga 2014 dia jadi korban perundungan karena kerap dipaksa membelikan makan bagi senior-senioranya.

"Selama 2 tahun saya dibully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi mereka secara bersama sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh," lanjut MS.

Baca Juga: Tak Kunjung Bayar Upah Nakes, 10 Kepala Daerah Ini Dapat Warning dari Tito Karnavian

MS mengaku mulai bekerja di KPI Pusat pada 2011. Dia mengaku kerap menerima perlakuan tak pantas mulai dari pelecehan, makian, bahkan hingga kekerasan fisik.

"Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan," jelas dia.

Puncaknya, di tahun 2015 MS mengaku mulai menerima pelecehan seksual. Kata dia, para pelaku yang berjumlah 7 orang ramai-ramai melakukan pelecehan seksual kepada dirinya yang membuat dirinya trauma dan hilang kestabilan emosi.

"Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencoret-coret buah zakar saya memakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi," jelasnya.

Dengan apa yang diperoleh dirinya, MS pun mengaku heran kenapa kejahatan seksual seperti itu bisa terjadi di KPI Pusat. Parahnya, MS mengaku dirinya sempat difoto oleh para pelaku dengan keadaan telanjang.

"Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online," terangnya.

Atas pelecehan seksual yang dialaminya, MS mengaku trauma berat. Tapi dia mau tak mau harus menahan trauma dan stres yang dirasakan demi tetap bisa bekerja.

Baca Juga: Cerita di Balik Pesan Pernikahan Penghulu Anas Fauzi hingga Viral dan Direspon Menag Yaqut

"Pelecehan seksual dan perundungan tersebut mengubah pola mental, menjadikan saya stres dan merasa hina, saya trauma berat, tapi mau tak mau harus bertahan demi mencari nafkah. Harus begini bangetkah dunia kerja di KPI? Di Jakarta?," jelasnya.

"Kadang di tengah malam, saya teriak teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan itu begitu membekas, diriku tak sama lagi usai kejadian itu, rasanya saya tidak ada harganya lagi sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Mereka berhasil meruntuhkan kepercayaan diri saya sebagai manusia," lanjutnya.

"Saya tidak tahu apakah para pria peleceh itu mendapat kepuasan seksual saat beramai ramai menelanjangi dan memegangi kemaluan saya, yang jelas saya kalah dan tak bisa melawan. Saya bertahan di KPI demi gaji untuk istri, ibu, dan anak saya tercinta."

Kerena stres berkepanjangan, MS mengaku kerap sering jatuh sakit di tahun 2016.

Bahkan dia mengaku jika keluarganya ikut sedih karena kerap melihat dirinya tiba-tiba gebrak meja tanpa alasan dan berteriak tanpa sebab.

Dia mengaku setiap kali ingat pelecehan tersebut emosinya menjadi tidak stabil dan semakin lama perutnya terasa sakit, badan mengalami penurunan fungsi tubuh, dan gangguan kesehatan.

Pada 8 Juli 2017, MS memeriksakan diri ke Rumah Sakit PELNI untuk Endoskopi. Hasilnya dia diketahui mengalami hipersekresi cairan Lambung akibat trauma dan stres.

Baca Juga: Belajar Tatap Muka di Kota Semarang Dibuka, Ganjar Pranowo Tanya Siswi Terkait Ini

"Pada 2017, saat acara Bimtek di Resort Prima Cipayung, Bogor, pada pukul 01:30 WIB, saat tidur, mereka melempar saya ke kolam renang dan bersama sama menertawai seolah penderitaan saya sebuah hiburan bagi mereka. Bukankah itu penganiayaan? Mengapa mereka begitu berkuasa menindas tanpa ada satupun yang membela saya. Apakah hanya karena saya karyawan rendahan sehingga para pelaku tak diberi sanksi? Dimana keadilan untuk saya?," ungkapnya.

Akhirnya di 11 Agustus 2017 MS mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komnas HAM melalui email. Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan apa yang dia alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Maka Komnas HAM menyarankan MS agar membuat laporan Kepolisian.

"2017, karena berobat ke dokter penyakit dalam tak kunjung sembuh, berdasarkan saran keluarga akhirnya saya ke Psikiater di RS Sumber Waras. Dari Psikiater, saya diberi obat penenang selama 1 minggu," lanjutnya.

Sepanjang 2018, karena tidak kuat dibully dan dimaki, usai tugas kantor selesai, MS sering menyendiri di Mushola hanya untuk menangis dalam kesunyian.

"Kadang saya pulang ke rumah di jam kerja hanya untuk menghindari perundungan yang tak sanggup saya tanggung. Mereka terus merundung dengan kata kata kotor dan porno seolah saya bahan hiburan mereka. Tapi karena dimarahi ibu agar bekerja sampai tuntas, saya akhirnya terpaksa kembali ke kantor," paparnya.

"Karena saya sering menyendiri ke mushola, para pelaku memfitnah saya meninggalkan pekerjaan, padahal saya trauma oleh kebejatan mereka dan tugas kantor selalu saya selesaikan dengan baik," lanjutnya.

Karena tak betah dan sering sakit pada 2019 MS akhirnya pergi ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi.

Sayangnya, Polisi meminta dirinya untuk lapor terlebih dahulu kepada atasannya agar masalah ini diselesaikan di internal KPI Pusat.

Baca Juga: Bendungan Kuningan Jabar Melahap Rp513 Miliar, Jokowi: Hari Ini Selesai

"Pak Kapolri, bukankah korban tindak pidana berhak lapor dan Kepolisian wajib memprosesnya?," herannya.

"Akhirnya saya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis, saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap "ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar",ceritanya.

Usai pengaduan itu, MS mengaku para pelaku mencibir dirinya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Bahkan para pelaku sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas MS dengan kalimat lebih kotor.

"Bahkan pernah tas saya di lempar keluar ruangan, kursi saya dikeluarkan dan ditulisi "Bangku ini tidak ada orangnya". Perundungan itu terjadi selama bertahun tahun dan lingkungan kerja seolah tidak kaget. Para pelaku sama sekali tak tersentuh," paparnya.

"Saya makin stres dan frustasi. Akhirnya berdasarkan saran keluarga, saya konsultasi ke psikolog di Puskesmas Taman Sari. Hasilnya, saya divonis mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)," lanjutnya.

Bingung menghadapi lingkungan kerja yang penuh predator dan penindas, akhirnya di kantor MS cerita kepada salah seorang sopir Komisioner KPI Pusat.

Dia mengaku butuh teman bicara di kantor, sebab pasca pemindahan ke ruangan lain nyatanya tidak mengakhiri perundungan yang dilakukan para pelaku.

"Karena perundungan terus terjadi dan saya makin lemah, sering sakit, terhina tiap saat, pada 2020 saya kembali ke Polsek Gambir, berharap laporan saya diproses dan para pelaku dipanggil untuk diperiksa. Tapi di kantor polisi, petugas tidak menganggap cerita saya serius dan malah mengatakan, "Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya,"lanjutnya.

Baca Juga: WOW! Puput Tantriana Sari Untung Banyak, Tarif Jabatan Kades di Probolinggo Rp20 Juta Plus Upeti Rp5 Juta

MS mengaku ingin penyelesaian hukum, makanya dirinya lapor polisi. Namun dia heran kenapa laporannya tidak di-BAP dan kenapa pelaku tak pernah diperiksa dan heran kenapa penderitaan dirinya seperti diremehkan.

"Bukankah seorang pria juga mungkin jadi korban perundungan dan pelecehan seksual? Saya tidak ingin mediasi atau penyelesaian kekeluargaan. Saya takut jadi korban balas dendam mereka, terlebih kami berada dalam satu kantor yang membuat posisi saya rentan," tegasnya.

"Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur. Bayangkan, kelamin saya dilecehkan, buah zakar saya bahkan dicoret dan difoto oleh para rekan kerja, tapi semua itu dianggap hal ringan dan pelaku masih bebas berkeliaran di KPI Pusat. Wahai Polisi, dimana keadilan bisa saya dapat?," katanya.

"Apakah harus jadi perempuan dulu supaya polisi serius memproses kasus pelecehan yang saya alami? Apakah tangan saya harus dibacok sampai putus atau perut saya diiiris berdarah dulu baru penganiayaan yang saya alami diperhatikan orang lain?."

Pada Oktober 2020, MS mengirim pesan ke Pengacara kondang Hotman Paris dan Mentalist Deddy Corbuzier untuk meminta tolong via DM Instagram. Tapi sayang, mereka berdua tidak merespon.

"Pak Jokowi, Pak Kapolri, Menkopolhukam, Gubernur Anies Baswesan, tolong saya. Sebagai warga negara Indonesia, bukankah saya berhak mendapat perlindungan hukum? Bukankah pria juga bisa jadi korban bully dan pelecehan? Mengapa semua orang tak menganggap kekerasan yang menimpaku sebagai kejahatan dan malah menjadikanya bahan candaan? Usai lapor atasan, mengapa pelaku tidak disanksi? Seperti inikah lingkungan kerja di KPI Pusat?."

"Dengan rilis pers ini, saya berharap Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia mau membaca apa yang saya alami. Saya tidak kuat bekerja di KPI Pusat jika kondisinya begini. Saya berpikir untuk resign, tapi sekarang sedang pandemi Covid-19 dimana mencari uang adalah sesuatu yang sulit."

Akhirnya usai diskusi dengan temannya yang pengacara, aktivis LSM, MS berani bicara dan mengungkap kasus ini kepada publik lewat rilis yang dikeluarkan dirinya ini. (PRFMNews.id / Rifki Abdul Fahm).***

Editor: Yusuf Samanery

Sumber: PRFM Twitter @Arie_Kriting

Tags

Terkini

Terpopuler